Kebijakan pemerintah untuk membatasi (mencabut) konsumsi BBM Premium subsidi per April 2012 tak pelak membuat resah pengguna kendaraan pribadi. Akibatnya, mereka harus berhitung ulang atas kebutuhan bensin untuk transportasi sehari-sehari. Bila terus ingin menggunakan kendaraan pribadinya, mereka harus merogoh kocek agak dalam dan mungkin saja memotong pos pengeluaran lainnya karena pilihan alternatif yang diberikan pemerintah juga tidak murah. Pemilik kendaraan pribadi ini harus beralih menggunakan BBM Pertamax yang harganya hampir 2x lipat harga BBM Premium bersubsidi. Pilihan lainnya adalah beralih ke BBG (Bahan Bakar Gas) yang sebetulnya cukup murah tapi memang harus mengeluarkan uang ekstra dengan mengganti sistem pembakaran kendaraan yang harganya sekitar 10-15 juta rupiah per unit.
Tapi memang inilah pilihan rasional yang bisa ditempuh pemerintah untuk mengurangi konsumsi masyarakat akan BBM bersubsidi. Yang namanya barang bersubsidi, memang akan membebani anggaran pengeluaran negara. Sudah puluhan tahun sebenarnya tanpa sadar kita telah dimanja oleh barang subsidi. Pada akhirnya, kita akan merasa memang harga BBM murah menjadi hak masyarakat dan mesti dipenuhi pemerintah. Kenaikan harga BBM bersubsidi ini sudah puluhan tahun menjadi indikator pengerek inflasi di negeri ini. Coba sekarang kita analisa apakah kebijakan ini sudah tepat dan apakah ini pilihan terakhir yang bisa dilakukan pemerintah. Saya akan coba utarakan argumen pribadi dari sejumlah sudut pandang yang berbeda.
Sejatinya, menurut teori ekonomi, tidak ada sejarahnya subsidi akan membantu masyarakat kelas bawah. Subsidi hanya akan menguntungkan pengguna dengan tingkat konsumsi yang tinggi dan para pemilik modal. Saya jadi teringat pengajar saya yang bercerita tentang subsidi pemerintah bagi petani pemilih lahan di Inggris. Niatnya memang ingin membantu petani yang saat itu sedang mengalami kesulitan. Tapi kenyataan yang terjadi tidak demikian. Pemilik lahan pertanian terbesar di Inggris Raya ternyata adalah Pangeran Charles, putra mahkota kerajaan Inggris. Alhasil, dia-lah yang akhirnya mendapatkan durian runtuh tanpa susah payah bekerja.
Analogi ini sama dengan konsumsi BBM Premium bersubsidi di negeri ini. Konsumsi terbesar BBM ini adalah masyarakat kelas menengah dan atas yang sebetulnya bukanlah sasaran utama subsidi ini. Masyarakat kelas bawah yang jumlahnya mayoritas di negeri ini hanyalah penikmat sebagian kecil dari kue subsidi ini. Mereka tetap tidak mampu mengkonsumsi BBM bersubsidi karena kemampuan ekonominya terbatas. Jadi sejujurnya alangkah naifnya bila masyarakat kelas atas dan menengah masih saja berteriak karena nantinya tidak diperbolehkan mengkonsumsi barang bersubsidi.
Masalah berikutnya, apakah kebijakan ini dapat menimbulkan inflasi? Secara tidak langsung, pastinya ini akan menimbulkan inflasi karena harga konsumsi menjadi naik. Harga konsumsi BBM pengguna mobil pribadi akan menjadi naik dan pengusaha akan menjadikan kebijakan ini sebagai dalih untuk menaikkan harga barang produksi. Akan tetapi, efek yang ditimbulkannya mungkin tidak akan sebesar bila pemerintah menetapkan kenaikan harga Premium dengan mengurangi nilai subsidinya. Lalu, apakah kemudian ini juga berdampak buruk bagi masyarakat kelas bawah? Sekali lagi, ini akan berdampak tidak langsung meski porsinya minim. Mereka juga akan merasakan kenaikan harga barang/jasa secara umum dan mungkin saja mereka akan menjadi korban bagi pengusaha yang sengaja mengorbankan mereka demi menekan biaya produksi.
Memang kebijakan pembatasan BBM bersubsidi ini cukup tepat bagi pemerintah, tapi seharusnya pemerintah membuat suatu kebijakan yang integrated dan berkesinambungan. Pemerintah tidak bisa secara parsial (setengah-setengah) dalam membuat kebijakan ini. Harus ada kebijakan lainnya yang mendukung secara tepat sehingga masyarakat memiliki alternatif yang menyenangkan untuk dijalani. Sesungguhnya ini momen yang tepat bagi pemerintah untuk serius menangani masalah transportasi yang cukup ruwet khususnya di kota-kota besar. Sangat kurangnya moda transporatasi yang aman dan nyaman memang membuat masyarakat memilih kendaraan pribadi untuk menjalankan aktifitas sehari-hari.
Saya hanya mencoba membayangkan betapa nikmatnya bila per April 2012 nanti, jumlah kendaraan pribadi yang berlalu-lalang di jalan menjadi cukup berkurang dan pada saat yang sama pemerintah telah menyiapkan moda transportasi umum yang nyaman yang jumlahnya memadai. Saya cukup yakin bila masyarakat rela berkorban untuk mengurangi penggunaan mobil pribadi dan beralih ke moda transportasi umum bila memang dirasa cukup nyaman, aman dan pastinya cepat karena kemacetan akan berkurang.
Kebijakan pemerintah ini bisa pula didukung dengan menaikkan pajak kepemilikan kendaraan pribadi. Kebijakan ini cukup ampuh mengurangi jumlah unit kendaraan yang beredar. Tapi sekaligus juga pemerintah harus memberikan fasilitas memadai bagi warganya, contohnya saja seperti diberikan fasilitas bebas biaya parkir untuk area tertentu, pemberantasan parkir liar, penataan jalan-jalan. Pemberian fasilitas ini cukup fair (wajar) diberikan karena pengguna mobil pribadi telah membayar jauh lebih mahal akibat pajak kendaraan yang tinggi dan konsumsi BBM non subsidi.
Dari perspektif politik, kebijakan ini memang tidak populis bagi pemerintah. Terlebih lagi aparat pemerintah dan anggota DPR kita masih saja mempertontonkan kemewahan yang tidak semestinya ditunjukkan. Mereka terus saja bebal dan menonjolkan kepentingan pribadi dan golongannya. Penggunaan mobil mewah bagi pejabat negara saja sudah cukup menyakiti perasaan masyarakat. Belum lagi proyek-proyek koruptif yang sarat kepentingan politik terus saja merebak. Kebijakan apapun yang ditempuh pemerintah seakan memang tidak pernah memihak rakyatnya.
Bagi presiden republik ini yang cukup cermat berhitung, kebijakan ini memang tidak popular dimata masyarakat tapi seakan inilah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan anggaran negara dan sekaligus mencari manfaat politik dari kebijakan ini. Beliau cukup menyadari waktunya berkuasa bersisa dua tahun lagi dan ini mungkin waktu yang tepat untuk mengamankan posisinya hingga 2014 dan menggandeng kawan politiknya.
Sebetulnya masih ada beberapa alternatif lain yang bisa dilakukan selain kebijakan pembatasan BBM bersubsidi ini. Pemerintah dapat saja mengembangkan industri otomotif baru yang produknya ramah di kantong masyarakat seperti kendaraan yang dikembangkan siswa SMK. Atau pilihan lainnya bisa mendukung penuh penelitian BBM alternatif yang saat ini sedang dikembangkan para peneliti muda bangsa kita. Tapi memang pilihan ini merupakan kebijakan jangka panjang. Seandainya presiden kita memilih kebijakan ini, sepertinya memang tak cukup waktu untuk memuluskan jalan hingga 2014 nanti.
Setidaknya ada dua manfaat politik yang bisa diperoleh dengan kebijakan pembataasan konsumsi BBM subsidi. Meski saat ini tidak populer, mungkin saja pada akhirnya Beliau dapat meng-klaim pengeluaran anggaran dapat ditekan cukup signifikan. Ini bisa menjadi titik balik presiden kita untuk setidaknya menghemat pengeluaran pemerintah yang menjadi poin penting keberhasilan pemerintahannya. Manfaat kedua tentu saja dengan digulirkannya proyek alat konversi BBG. Masih cukup segar di ingatan kita saat ada kebijakan penggantian minyak tanah dengan LPG. Proyek pengadaan tabung LPG saat itu akhirnya jatuh kepada kolega wakil presiden kita saat itu. Tentu saja saat itu presiden kita dapat manfaat politik dari kawan politiknya. Sama halnya seperti saat ini, pemerintah seakan belum bersedia untuk mengganti mobil mewah pejabat kendaraan dengan yang lebih sederhana. Ini tentunya akan menyenangkan mitra politiknya. Pemerintah hanya akan sekedar mengganti sistem pembakarannya dengan alat konversi BBG untuk memberikan “contoh” bagi masyarakat agar tergerak mengikuti. Pihak mana nanti yang akan mendapat manfaat ekonomi dari pengadaan alat konversi BBG bisa kita cermati nantinya.
Kebijakan pembataasan konsumsi BBM bersubsidi ini juga akan “menyelamatkan” industri otomotif besar di negeri ini. Bukan tidak mungkin bila saja pemerintah serius menggarap industri otomotif baru milik pemuda negeri ini, industri otomotif besar akan merasa terancam. Ketergantungan kita terhadap negara pemilik industri otomotif besar menjadikan pemerintah negeri ini seperti tidak punya posisi tawar yang kuat untuk menunjukkan identitas sejatinya.
Bagi PERTAMINA sendiri, kebijakan ini bagai dua mata sisi uang. Di satu sisi kebijakan ini akan mengerek pendapatannya karena pengguna kendaraan pribadi akan beralih ke Pertamax dan BBG. Namun di sisi lainnya akan menyemarakkan persaingan di pasar bahan bakar kelas premium, sebut saja seperti yang ditawarkan SHELL, TOTAL, dan PETRONAS. PERTAMINA mesti berhitung cukup cermat untuk tetap mempertahankan pangsa pasarnya. Sebaliknya bagi konsumen, kompetisi di kelas ini akan membuat nyaman karena mereka memiliki banyak pilihan.
Semoga saja pemerintah cukup bijak untuk memulai kebijakan ini. Memang harapannya pemerintah dapat menerapkan kebijakan yang
integrated, berkesinambungan dan menyeluruh sehingga masayarakat tidak terlalu terbebani. Masyarakat akan rela berkorban asalkan pemerintah memiliki itikad yang tulus memberi teladan dan memiliki perencanaan jangka panjang yang memihak rakyat banyak.
Resume dari obrolan di sebuah warung di sudut Jalan Arjuna Utara sehari sebelumnya...
Jakarta, 18 Januari 2012...