Suatu sore saya pulang dengan seorang ustadz yang juga kawan kerja. Setiap dekat Beliau, selalu saya sempatkan untuk diskusi soal kehidupan dan bagaimana menjalaninya. Tapi kali ini saya banyak bertanya tentang hakikat kematian.
Ada banyak pertanyaan tentang kematian yang sebenarnya saya sudah tahu jawabannya, tapi butuh untuk lebih paham agar yakin karena pada akhirnya saya juga akan menuju kesana. Pertanyaan sederhana yang terus selalu dipertanyakan oleh kedangkalan akal saya.
"Mengapa harus merasakan kematian?"
"Apakah sakit saat menghadapi kematian?"
"Apakah kita tahu saat kematian diri ini sendiri?"
"Apakah sholat dan ibadah bisa mudahkan saat kematian kita?"
"Mengapa banyak orang yang sepertinya tidak siap menghadapi kematian?"
"Apakah yang kematiannya mudah itu tanda orang baik, dan yang sulit itu tanda orang yg di hidupnya berbuat kerusakan?"
"Apa yang harus dipersiapkan untuk menghadapi kematian?"
Tak perlu menjawab semua pertanyaan saya, Pak ustadz pun mengawali dengan kalimat, "Mungkin hanya soal kematian dan akhirat yang selalu ditanyakan pada orang hidup yang belum pernah rasakan kematian dan jalani kehidupan akhirat..., Tapi kita bisa pahami dengan akidah dan ilmu..."
Bicara apapun tentang kehidupan dunia ataupun akhirat, pangkalnya adalah tentang kesadaran diri bahwa kita adalah makhluk Allah. Pemahaman bahwa diri adalah hamba yang sepenuhnya mengabdi dan taat kepada-Nya. Allah yang berikan kehidupan dan Allah pula yang jamin penghidupan sesuai kadarnya. Sekehendak-Nya kapan memulai kehidupan, melebihkan atau mencukupkan penghidupan kita. Saat dihentikan penghidupan, itulah akhir kehidupan di dunia. Dan penugasan kita di dunia telah selesai. Kembalinya hamba ke Penciptanya seharusnya menjadi sesuatu yang dirindukan bila sepanjang hidup kita taat dan terus menghamba.
Bicara tentang saat kematian, saya jadi ingat almarhum Ibu saya. Cukup sederhana keinginan Ibu. Bila kematian menjelang, Ibu tak mau merepotkan siapapun. Dan keinginannya pun terkabulkan. Saat Ibu mulai sakit, bahkan anak-anaknya sendiri tak ada yang tahu. Sakit menjelang ajalnya pun tak membebani siapapun. Tapi saya yakin persiapan kematiannya tak sesederhana keinginan terakhir Ibu.
Bila ilmu tentang kematian didahului dengan kuatnya akidah, kematian akan menjadi sesuatu yang dirindukan.
Bila paham sholat dan ibadah kita hanya sepanjang hidup, persiapkan anak-cucu kita menjadi shalih, sampaikan kebaikan ilmu yang menginspirasi orang menjadi lebih baik, infakkan harta yang abadi manfaat dan pahalanya.
Bila yakin hidup itu hanya soal taat, jadikan sabar dan sholat keseharian kita. Sabar tuk tunjukkan ketakberdayaan kita dan hanya mengharap ke Allah. Sholat tuk sampaikan rasa syukur atas takdir apapun yang diberikan.
Bila cinta ini ujungnya hanya untuk Allah, seharusnya paham tak perlu berharap balasan cinta dari manusia dan bersandar pada dunia. Dunia cukup hanya di genggaman, tak perlu masuk sampai ke hati.
Dan minggu lalu kita yang masih hidup dapatkan contoh kematian yang dirindukan. Jiwa yang siapkan amalan terbaiknya sedari dini. Sosok yang memuliakan anak yatim dan menafkahi fakir miskin. Selalu ulurkan tangan bantu yang ditimpa musibah. Teladan yang siapkan generasi shalih, hanya sampaikan ilmu terbaik, dan tak terhitung infak harta yang terus mengalir kebaikannya. Sakitnya dimaknai bukti sayangnya Allah, dan saat kematiannya menjadi saat dirindukan karena telah jadi jiwa-jiwa yang tenang..
*Hidupnya jadi mulia, Kematiannya pun dirindukan... Barakallah*
Al-Fajr : 27-30
# Alhamdulillah... untuk kawan, rekan, kerabat, dan Ulama yang telah tunjukkan nasehat terbaik
# siapkan diri tuk kematian yg dirindukan
# pengen jadi jiwa yang tenang sebelum kematian datang