Hal yang diwajibkan dalam penulisan sebuah skripsi/tesis adalah uraian landasan teori. Karena sebuah tulisan ilmiah yang menguraikan sebuah fakta baru tak mungkin berdiri sendiri tanpa ada teori yang mendasarinya. Kebanyakan dari sarjana yg pernah buat skripsi/tesis, paling sulit menguraikan landasan teori dengan kalimat sendiri. Yang paling mudah dilakukan ya terkadang hanya copy-paste dari tulisan ilmiah milik orang lain yang terpublikasi sebelumnya.
Dalam kaidah penulisan ilmiah, paling diharamkan melakukan penjiplakan (plagiat) tulisan. Plagiat biasanya masih bisa ditoleransi bila tak lebih dari 20% dari total tulisan yg dibuat. Disinilah penulis ilmiah diminta untuk mampu mengolah kata sehingga menjadi kalimat yang memiliki tujuan landasan teori yang sama. Kalaupun terpaksa menjiplak, diwajibkan menuliskannya pada catatan kaki atau daftar pustaka pada akhir tulisan. Terlupa menuliskan referensinya, dipastikan gelar sarjana tak akan bisa diperoleh.
Yang mengherankan, banyak sarjana yang merasa cukup dengan copy-paste landasan teori, kutip kalimat sana-sini tanpa mencoba mengolahnya. Terkadang juga asal copy-paste sebanyak-banyaknya supaya terlihat banyak gunakan referensi tanpa lakukan seleksi apakah referensinya berhubungan tujuan penulisannya. Yg penting sekedar menyusun skripsi dengan halaman sebanyaknya, kemudian sekedar lulus sarjana tanpa kebanggaan telah membuat tulisan dari hasil upayanya sendiri.
Lalu bagaimana dengan kaidah penulisan yg bukan ilmiah seperti opini, pandangan, pernyataan atau narasi? Memang tidak ada kewajiban untuk menuliskan referensinya. Kalaupun memang itu tulisan sendiri ya tak perlu pakai referensi & silahkan saja tulis nama sendiri di akhir tulisan. Tapi kalau memang ada 1-2 kalimat yg mengutip milik orang, ya sebaiknya cantumkan nama penulisnya atau paling tidak ijin dahulu dengan penulisnya tanpa menghilangkan esensi tulisan yg dibuat tak 100% dari hasil pikirannya. Tak elok rasanya kalimat orang diklaim jadi buah pikiran sendiri.
Kalaupun ternyata tulisan yg dibuat mengandung plagiat dan malah disuka banyak orang, segera minta ijin ke penulis aslinya, revisi tulisannya, cantumkan nama pemilik kutipan, dan sampaikan permohonan maaf. Pembaca Indonesia cukup pemaaf, tak perlu malu meminta maaf.
Bila sebuah tulisan jelas-jelas jiplakan punya orang lain dan tetap diklaim sebagai tulisan sendiri, biasanya sanksi sosial sudah siap menunggu yg bisa lebih kejam dibanding sanksi hukum.
Seseorang yang terbiasa menulis akan memiliki gaya tulisannya sendiri. Gaya tulisan dengan sendirinya akan ikut berubah mengikuti tingkat kematangan dalam tulisannya. Semakin banyak membaca, materi tulisanpun akan semakin beragam. Seorang penulis sejati tak akan merasa segan mencantumkan nama penulis aslinya bila mengutip sebuah kalimat. Sebaliknya, penulis sejati tak akan keberatan memberikan ijin untuk orang lain yang ingin mengutip atau membagikan.
Kalaupun ada penulis pemula yang tiba-tiba mampu buat tulisan bagus yg memang ternyata hasil kutipan sana-sini, anggap saja dia masih proses belajar dan sekedar ingin tunjukkan dia sudah banyak membaca. Cukup arahkan kembali ke kaidah yg benar. Untuk mampu mempertanggung-jawabkan tulisan sendiri butuh kemampuan olah pikir yg mumpuni. Itupun tak menjamin kebenaran menjadi mutlak dari suatu tulisan yang dibuat.
Sebaik-baik pengkritisi tulisan/pandangan adalah yang mengkoreksi langsung ke penulisnya tanpa timbulkan kegaduhan sehingga timbulkan kutub pro dan kontra. Biarkan penulis plagiat menyadari kesalahan sendiri tanpa memojokkannya dan kehilangan harga diri.
Satu hal yang harus diingat, menulis (yg baik) itu sulit dan penulis pemula masih harus banyak belajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar