Siang itu, tepat 10 tahun yang
lalu, 22 Oktober 2003, Ibu pergi tinggalkan kami semua. Pada tanggal yang sama,
15 bulan sebelumnya, Ayah lebih dulu berpulang. Dua momen pada tanggal yang
sama itulah yang menjadi titik balik kami untuk sadar bahwa hidup harus
dijalani bersama dan mengesampingkan ego yang ada.
Ayah tinggalkan kami cukup
tiba-tiba. Malam sudah larut saat beliau pulang mengajar dan tampak sangat
lelah. Pagi harinya beliau mengeluh sakit dan kemudian tak sadarkan diri.
Setelah sekitar 2 minggu melawan serangan stroke yang kembali datang, beliau
tak kuasa untuk kembali pulih dan akhirnya berpulang. Itu adalah serangan
stroke kedua setelah belasan tahun sebelumnya serangan ini pernah
menghampirinya. Tak banyak yang saya ingat saat beliau terbaring sakit dengan
stroke yang kembali datang karena saat itu saya masih tetap pergi bekerja. Saya
hanya beruntung berada disamping ayah saat beliau hembuskan nafas terakhirnya.
Berpulangnya Ayah membuat kami
semua kehilangan, terutama bagi Ibu. Sudah lebih 30 tahun ibu selalu temani Ayah, dan Ibu harus terima bahwa saat itu tak ada lagi sosok ayah disamping
kami. Tampak sekali dari wajah ibu yang tak lagi seceria saat ayah masih ada. Kami
juga kehilangan figur tangguh yang menopang hidup keluarga.
Entah apa yang terjadi pada kami
saat itu, setelah Ayah tiada, tak ada satupun dari kami yang berani mengambil
sikap untuk menggantikan peran Ayah. Jujur saja, saat itu pun saya merasa goyah
dan seakan enggan untuk berganti peran menjadi penopang keluarga. Mungkin hal
yang sama dirasakan anak-anak Ayah yang lain yang seperti kehilangan arah saat
ayah pergi. Kami tenggelam semua dengan kesibukan masing-masing sebagai
pelarian pelipur rasa kehilangan ini. Saat itu, nyaris tak pernah kami,
anak-anak ayah, mecoba saling berbicara untuk mencoba mengerti satu sama lain
dan mencoba bangkit dari rasa kehilangan ini.
Tinggallah Ibu sendiri berjuang
sendiri hadapi kehilangan ini. Ketiga anak lelakinya terus larut dalam
kesibukan dan mencari ego masing-masing. Untuk meneruskan hidup kami sekeluarga,
Ibu hanya bergantung pada uang pensiun
ayah yang jumlahnya tak seberapa. Saya, yang saat itu sudah bekerja, hanya
memberikan sedikit uang untuk membantu yang jumlahnya takkan mencukupi
kehidupan sehari-hari. Akhirnya Ibu terpaksa menjual perhiasan dan kendaraan
warisan yang dimiliki. Bila saja Ibu mau, bisa saja Ibu menampar muka kami
semua untuk sadar bahwa hidup harus terus berjalan dan mulai bergerak maju.
Tapi Ibu tak mau lakukan itu karena tak ingin sakiti anak-anaknya.
Waktu terus berjalan dan satu
tahun berlalu setelah kepergian ayah...
Malam itu, sepulang saya kuliah
malam, Ibu tak kuasa menahan tangis. Dikumpulkannya ketiga anak lelakinya untuk
duduk bersama disamping ranjang tempat ibu berbaring. Ibu bercerita bahwa
sebenarnya sejak Ayah tiada, keadaan kesehatan ibu jauh menurun. Tapi ibu tidak
pernah ceritakan hal ini ke anak-anaknya karena tidak ingin menambah beban
pikiran kami. Ibu cukup pandai merahasiakan keadaan sebenarnya yang dirasakan.
Yang saya tahu, Ibu selalu rajin untuk puasa Senin-Kamis. Yang saya lihat Ibu
tetap sehat, meski sebetulnya kondisinya tidaklah terlalu baik.
Ibu bercerita bahwa siang tadi
beliau pergi ke dokter untuk memeriksakan kesehatannya sendiri tanpa ada yang
menemani. Ibu pun tidak memberitahukan ini kepada anak-anaknya. Setelah
diperiksa, dokter menanyakan apakah ada anggota keluarga yang menemani beliau.
Ibu menjawab tidak ada dan hanya pergi sendiri. Dengan berat hati, dokter
mengatakan bahwa penyakit lama Ibu kambuh kembali. Penyakit Hepatitis yang
merupakan penyakit bawaan menjadi semakin kronis menggerogoti hati (lever) Ibu.
Inilah yang membuat kondisi Ibu semakin lemah. Dokter mengatakan bahwa bila
tidak ditangani secara insentif, harapan untuk hidup tidak akan bisa diperpanjang.
Dan Ibu cukup paham bahwa penanganan insentif membutuhkan biaya banyak.
Mendengar cerita ini, kami pun
hanya mampu terdiam. Sungguh saya merasa sesak mendengar cerita ini. Seharusnya
saya lah yang mengantar Ibu ke dokter, bukan Ibu sendiri yang pergi. Seharusnya
kepada kamilah dokter itu berbicara, bukan langsung kepada Ibu. Seharusnya saya
sempatkan memberi lebih banyak waktu buat Ibu. Seharusnya kami semua lah yang
bergantian memainkan peran ayah di keluarga ini.
Sejak saat itu, seakan-akan kami
dipaksa bangun dari ketidakpedulian kami dengan sebuah tamparan yang sangat keras.
Kami dipaksa bangun dari mimpi panjang untuk menghadapi kenyataan hidup di
depan kami. Dari cerita Ibu, beliau sepertinya paham umurnya tidak lama lagi.
Pengobatan hanya akan memperlambat tingkat penyebarannya, tapi tidak akan mampu
menghilangkan penyakit yang diderita. Ibu nampaknya paham sudah terlalu lambat
untuk memulihkan kondisi dan tampak Ibu sangat sabar menghadapinya. Ibu telah
siap bila suatu saat dipanggil oleh-Nya.
Dan tiga bulan berikutnya Ibu
telah tiada...
Hanya satu pesan yang Ibu katakan
kepada saya. Beliau ingin saya yang menjaga keluarga kami bila suatu saat nanti
Ibu berpulang karena saat itu hanya saya lah yang saat itu sudah memiliki
penghasilan dari bekerja. Ada satu mimipi yang selalu saya ingat setelah Ibu
tiada. Saya bermimpi Ibu mendatangi saya dan meraih tangan saya untuk
dibangunkan dari keadaan berbaring. Saat itu Ibu berkata saya harus mampu
hadapi ini. Saya hanya mampu menatap mata Ibu dan berkata lirih Insya Allah...
Waktu berlalu tanpa Ibu disini...
Sejak Ayah & Ibu telah berpulang,
keadaan menjadi sangat berbeda. Kami, anak-anaknya, seperti tersadar bahwa
tantangan hidup di depan harus dihadapi bersama. Kami tak bisa lagi hidup dalam
ego masing-masing yang membuat kami menjadi semakin jauh dan hilang kendali.
Keluarga adalah tempat kami membangun hidup dan keluarga lah tempat kami
kembali dari beratnya perjuangan hidup.
Seharusnya kami tak perlu
merasakan kehilangan seperti ini bila kami tersadar jauh lebih cepat. Ayah
& Ibu sudah berikan kami cukup modal untuk melangkah bersama hadapi hidup,
bukan berlari sendiri-sendiri mencari arti hidup. Seharusnya mereka tak perlu
menarik kami dengan keras untuk mengajari kami berjalan beriringan. Seharusnya
kami lah yang kembali pulang lebih cepat saat mulai hilang arah.
Seharusnya Ibu melihat saat ini
saat kami sudah paham arti hidup. Seharusnya saat ini ayah melihat bahwa kami
anak-anaknya sudah mampu belajar dan menggantikan peran ayah. Kami ingin kalian
saksikan bahwa kami tetap bersama meski 10 tahun telah berlalu sejak Ayah &
Ibu tiada.
Maafkan kami Ibu....., Maafkan
kami ayah....
Maafkan bila tidak mampu memahami
apa yang terjadi 10 tahun yang lalu dan baru kami mengerti sakarang.
Jakarta, 22 Oktober 2013
Jakarta, 22 Oktober 2013