Senin, 21 Oktober 2013

Titik Balik



Siang itu, tepat 10 tahun yang lalu, 22 Oktober 2003, Ibu pergi tinggalkan kami semua. Pada tanggal yang sama, 15 bulan sebelumnya, Ayah lebih dulu berpulang. Dua momen pada tanggal yang sama itulah yang menjadi titik balik kami untuk sadar bahwa hidup harus dijalani bersama dan mengesampingkan ego yang ada.

Ayah tinggalkan kami cukup tiba-tiba. Malam sudah larut saat beliau pulang mengajar dan tampak sangat lelah. Pagi harinya beliau mengeluh sakit dan kemudian tak sadarkan diri. Setelah sekitar 2 minggu melawan serangan stroke yang kembali datang, beliau tak kuasa untuk kembali pulih dan akhirnya berpulang. Itu adalah serangan stroke kedua setelah belasan tahun sebelumnya serangan ini pernah menghampirinya. Tak banyak yang saya ingat saat beliau terbaring sakit dengan stroke yang kembali datang karena saat itu saya masih tetap pergi bekerja. Saya hanya beruntung berada disamping ayah saat beliau hembuskan nafas terakhirnya. 

Berpulangnya Ayah membuat kami semua kehilangan, terutama bagi Ibu. Sudah lebih 30 tahun ibu selalu temani Ayah, dan Ibu harus terima bahwa saat itu tak ada lagi sosok ayah disamping kami. Tampak sekali dari wajah ibu yang tak lagi seceria saat ayah masih ada. Kami juga kehilangan figur tangguh yang menopang hidup keluarga.

Entah apa yang terjadi pada kami saat itu, setelah Ayah tiada, tak ada satupun dari kami yang berani mengambil sikap untuk menggantikan peran Ayah. Jujur saja, saat itu pun saya merasa goyah dan seakan enggan untuk berganti peran menjadi penopang keluarga. Mungkin hal yang sama dirasakan anak-anak Ayah yang lain yang seperti kehilangan arah saat ayah pergi. Kami tenggelam semua dengan kesibukan masing-masing sebagai pelarian pelipur rasa kehilangan ini. Saat itu, nyaris tak pernah kami, anak-anak ayah, mecoba saling berbicara untuk mencoba mengerti satu sama lain dan mencoba bangkit dari rasa kehilangan ini.

Tinggallah Ibu sendiri berjuang sendiri hadapi kehilangan ini. Ketiga anak lelakinya terus larut dalam kesibukan dan mencari ego masing-masing. Untuk meneruskan hidup kami sekeluarga, Ibu hanya bergantung  pada uang pensiun ayah yang jumlahnya tak seberapa. Saya, yang saat itu sudah bekerja, hanya memberikan sedikit uang untuk membantu yang jumlahnya takkan mencukupi kehidupan sehari-hari. Akhirnya Ibu terpaksa menjual perhiasan dan kendaraan warisan yang dimiliki. Bila saja Ibu mau, bisa saja Ibu menampar muka kami semua untuk sadar bahwa hidup harus terus berjalan dan mulai bergerak maju. Tapi Ibu tak mau lakukan itu karena tak ingin sakiti anak-anaknya.

Waktu terus berjalan dan satu tahun berlalu setelah kepergian ayah...
Malam itu, sepulang saya kuliah malam, Ibu tak kuasa menahan tangis. Dikumpulkannya ketiga anak lelakinya untuk duduk bersama disamping ranjang tempat ibu berbaring. Ibu bercerita bahwa sebenarnya sejak Ayah tiada, keadaan kesehatan ibu jauh menurun. Tapi ibu tidak pernah ceritakan hal ini ke anak-anaknya karena tidak ingin menambah beban pikiran kami. Ibu cukup pandai merahasiakan keadaan sebenarnya yang dirasakan. Yang saya tahu, Ibu selalu rajin untuk puasa Senin-Kamis. Yang saya lihat Ibu tetap sehat, meski sebetulnya kondisinya tidaklah terlalu baik. 

Ibu bercerita bahwa siang tadi beliau pergi ke dokter untuk memeriksakan kesehatannya sendiri tanpa ada yang menemani. Ibu pun tidak memberitahukan ini kepada anak-anaknya. Setelah diperiksa, dokter menanyakan apakah ada anggota keluarga yang menemani beliau. Ibu menjawab tidak ada dan hanya pergi sendiri. Dengan berat hati, dokter mengatakan bahwa penyakit lama Ibu kambuh kembali. Penyakit Hepatitis yang merupakan penyakit bawaan menjadi semakin kronis menggerogoti hati (lever) Ibu. Inilah yang membuat kondisi Ibu semakin lemah. Dokter mengatakan bahwa bila tidak ditangani secara insentif, harapan untuk hidup tidak akan bisa diperpanjang. Dan Ibu cukup paham bahwa penanganan insentif membutuhkan biaya banyak.

Mendengar cerita ini, kami pun hanya mampu terdiam. Sungguh saya merasa sesak mendengar cerita ini. Seharusnya saya lah yang mengantar Ibu ke dokter, bukan Ibu sendiri yang pergi. Seharusnya kepada kamilah dokter itu berbicara, bukan langsung kepada Ibu. Seharusnya saya sempatkan memberi lebih banyak waktu buat Ibu. Seharusnya kami semua lah yang bergantian memainkan peran ayah di keluarga ini.

Sejak saat itu, seakan-akan kami dipaksa bangun dari ketidakpedulian kami dengan sebuah tamparan yang sangat keras. Kami dipaksa bangun dari mimpi panjang untuk menghadapi kenyataan hidup di depan kami. Dari cerita Ibu, beliau sepertinya paham umurnya tidak lama lagi. Pengobatan hanya akan memperlambat tingkat penyebarannya, tapi tidak akan mampu menghilangkan penyakit yang diderita. Ibu nampaknya paham sudah terlalu lambat untuk memulihkan kondisi dan tampak Ibu sangat sabar menghadapinya. Ibu telah siap bila suatu saat dipanggil oleh-Nya.

Dan tiga bulan berikutnya Ibu telah tiada...
Hanya satu pesan yang Ibu katakan kepada saya. Beliau ingin saya yang menjaga keluarga kami bila suatu saat nanti Ibu berpulang karena saat itu hanya saya lah yang saat itu sudah memiliki penghasilan dari bekerja. Ada satu mimipi yang selalu saya ingat setelah Ibu tiada. Saya bermimpi Ibu mendatangi saya dan meraih tangan saya untuk dibangunkan dari keadaan berbaring. Saat itu Ibu berkata saya harus mampu hadapi ini. Saya hanya mampu menatap mata Ibu dan berkata lirih Insya Allah...

Waktu berlalu tanpa Ibu disini...
Sejak Ayah & Ibu telah berpulang, keadaan menjadi sangat berbeda. Kami, anak-anaknya, seperti tersadar bahwa tantangan hidup di depan harus dihadapi bersama. Kami tak bisa lagi hidup dalam ego masing-masing yang membuat kami menjadi semakin jauh dan hilang kendali. Keluarga adalah tempat kami membangun hidup dan keluarga lah tempat kami kembali dari beratnya perjuangan hidup.

Seharusnya kami tak perlu merasakan kehilangan seperti ini bila kami tersadar jauh lebih cepat. Ayah & Ibu sudah berikan kami cukup modal untuk melangkah bersama hadapi hidup, bukan berlari sendiri-sendiri mencari arti hidup. Seharusnya mereka tak perlu menarik kami dengan keras untuk mengajari kami berjalan beriringan. Seharusnya kami lah yang kembali pulang lebih cepat saat mulai hilang arah.

Seharusnya Ibu melihat saat ini saat kami sudah paham arti hidup. Seharusnya saat ini ayah melihat bahwa kami anak-anaknya sudah mampu belajar dan menggantikan peran ayah. Kami ingin kalian saksikan bahwa kami tetap bersama meski 10 tahun telah berlalu sejak Ayah & Ibu tiada.

Maafkan kami Ibu....., Maafkan kami ayah....
Maafkan bila tidak mampu memahami apa yang terjadi 10 tahun yang lalu dan baru kami mengerti sakarang.

Jakarta, 22 Oktober 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar