Selasa, 23 April 2019

Tanding Tandang di Kandang Kurawa

Alkisah Pandawa bermain bola di kandang Kurawa. Lawannya bukan Kurawa, tapi Punokawan. Sejak jauh hari Pandawa sudah mencium bau busuk di kandang Kurawa, tapi demi sportivitas tetap dijalankan meski tahu pertandingan tak akan mudah. Duryodana tetapkan pertandingan hanya 1 babak dan tidak ada pergantian sisi lapangan.

Saat diberi sesi latihan, sedari awal Pandawa sudah protes lapangan tidak rata seluruhnya. Hanya rata di sisi kanan, tapi sisi kiri lapangan bergelombang dan penuh dengan kubangan. Bola yang digunakan pun tidak bundar penuh, tapi lonjong jadi sulit bola ditebak arah tendangannya. Di luar lapangan, Baladewa terpaksa kecewa karena tak diberi jatah tiket.

Awalnya Kurawa berkilah protes itu hanya bualan Pandawa sendiri. Tapi setelah lihat fakta, Kurawa tetap tak bergeming dan berkelit itu hanya akal-akalan Pandawa supaya pertandingan dibatalkan. Baladewa pun disalahkan karena tak berusaha keras dapatkan tiket pertandingan. Terpaksa Baladewa hanya menonton pertandingan di depan layar.

Sebenarnya Punokawan bukanlah lawan tanding Pandawa. Dulu mereka bersatu, rukun dan guyub layaknya saudara kandung, tak saling berkubu seperti sekarang. Sejak Kurawa dikalahkan Pandawa, Duryodana membujuk rayu Petruk untuk dijadikan bonekanya. Duryodana paham Petruk ingin jadi juara, jadi tak perlu susah payah Kurawa mengalahkan Pandawa supaya jadi penguasa jagad bola.

Waktu Pertandingan pun dimulai. Tribun dikuasai Kurawa yang tiketnya seluruhnya gratis karena dibayari Duryodana ditambah kupon 5kg beras. Bola yang dipakai tetap lonjong. Wasit tentukan Punokawan dapat sisi kiri dan Pandawa sisi kanan.

Peluit tanda mulai tanding berbunyi. Keduanya saling serang. Pandawa kesulitan serang Punokawan karena sisi kiri tak rata. Sebaliknya Punokawan menyerang leluasa karena sisi kanan rata.
Wasitpun juga bermain. Lari tergopoh-gopoh karena kantongnya sudah penuh kepeng emas. Tak fokus pimpin pertandingan karena takut kepengnya berjatuhan. Wasit tak peduli berapa gol yang sudah masuk, di otaknya cuma teringat pesan Duryodana.

Tackle kasar Gareng tak digubris wasit, tapi sentuhan lembut Arjuna diganjar kartu kuning. Makian Bagong tak berbuah kartu merah, tapi teriakan Sadewa membuatnya keluar lapangan. Tendangan melengkung Bima yang masuk gawang tak dinyatakan sah, tapi sundulan offside Petruk menambah skor.

Di atas tribun, petugas skor tak ketinggalan bermain. Diubahnya gol Pandawa menjadi skor untuk Punokawan. Penonton di lapangan tak menyadarinya. Hanya penonton di layar kaca yang bisa lihat karena kameramen selalu sorot papan skor saat gol terjadi. Komite Pertandingan buru-buru buat pernyataan mempersilahkan penonton meralat hasil skor, tapi tetap bersikukuh papan skor di lapangan yg dipakai. Dia hanya akan meralat saat pertandingan telah usai.

Penonton layar di luar lapangan tetap bersabar, belum ada keinginan merangsek ke stadion untuk melabrak wasit, petugas skor, dan komite pertandingan. Sebagian membubarkan diri karena percuma berharap Pandawa menang dengan kecurangan ini.

Entah berapa lama lagi pertandingan berakhir, Pandawa tampak lelah karena energi terkuras menahan amarah karena dicurangi. Di sisi lain, bedak Punokawan tak juga luntur karena tak perlu berkeringat dan Petruk pun busungkan dada yakin dia jadi pemenangnya. Di sudut lapangan, Duryodana bersorak dengan Kurawa-nya. Hanya Semar di tiang gawang terdiam bingung harus bersikap apa melihat kecurangan ini.

Buat Baladewa tak masalah bila Pandawa kalah, tapi terpaksa dikalahkan ini yang membuat sakit hati. Tinggal berharap datangnya Bathara Guru yang memberi keadilan untuk semua.

#PertandinganBelumUsai
#CeritaNegriWayang

Jumat, 12 April 2019

Lelaki yang Tak Pernah Hadir

Entah ini pertanyaan atau keluhan dari anak ke ayahnya. Tapi tiba-tiba ini mengingatkan saya pada pertanyaan yang sama yang tidak pernah berani saya tanyakan ke Bapak saat saya kecil dulu. Pertanyaan sederhana anak yang sejatinya tak semudah diucapkan di mulut.
"Ayah, kenapa sih pulangnya malam terus?"

Saat kecil dulu sebetulnya pertanyaan terpendam saya jauh lebih banyak dibanding anak saya.
"Kenapa Bapak jarang di rumah?"
"Kenapa Bapak berangkat pagi betul dan pulang terlalu larut?"
"Kenapa Bapak jarang ajak jalan-jalan?"
"Kenapa Bapak hampir gak pernah belikan mainan?"
"Kenapa Bapak nyaris tak pernah antar anaknya ke sekolah?"
"Kenapa Bapak dinas luar kota lama?"

Hampir-hampir saat kecil dulu saya seperti tak kenal Bapak. Semua hal yang saya dan kakak-adik lakukan hanya ada Ibu di samping. Bapak ajak jalan hanya sekali-kali yang bisa dihitung dengan jari dalam hitungan tahun. Entah butuh berapa tahun saya baru bisa pahami Bapak.

Dan saya akhirnya baru benar-benar merasakan pemahaman ini saat menjadi sosok ayah seperti di posisi Bapak waktu itu.
Bapak memang jarang hadir buat anaknya, tapi hasil kerja kerasnya mampu biaya sekolah anaknya.
Bapak seperti tak punya waktu untuk ajari PR anaknya, tapi tetap sempatkan ingatkan waktu sholat.
Bapak memang tak punya waktu makan malam bersama, tapi do'anya tak pernah putus harap untuk bisa bersama keluarga selamanya.
Bapak yang habis waktunya untuk bekerja, tapi tak pernah kehabisan uang untuk cukup nafkahi keluarga dan bantu sanak saudara.

Sejatinya apa yang sekarang saya alami menjadi ayah adalah cerminan apa yang dialami Bapak dulu. Bila Bapak saat ini masih ada, pastinya dia akan tersenyum simpul sembari berkata, "Sekarang giliran kamu rasakan apa yang Bapak dulu rasa Nak..., Bersabarlah..."

Saat ini pasti Bapak bisa bangga untuk bilang saya sudah jadi laki-laki seutuhnya persis yang Bapak mau. Dulu dia lakukan ini semua pada anak lelakinya supaya tangguh dan kuat. Bapak tunjukkan tak peduli setangguh atau sekuat apapun, lelaki itu tak kan pernah sempurna di mata keluarga dan harus selipkan setulus kata maaf untuk cela perbuatannya. Tak pernah terbersit ingin dipuja karena Bapak sadar tak akan pernah sempurna.

Saya jadi paham kenapa dulu Bapak jarang sekali peluk saya. Bapak ingin saya tangguh di hadapannya dan hanya menangis di pelukan Ibu. Hal yang sama saat ini saya lakukan ke anak lelaki saya meski sesungguhnya saya ingin peluk dia.
Saya jadi paham kenapa Bapak jarang bicara ke anaknya karena ingin tunjukkan lelaki itu tak boleh keluh kesah, tapi jadi tempat luapkan keluhan. Hal yang persis saya tampakkan ke anak-anak.
Pantas saja Bapak tak pernah terlihat menangis dan air matanya selalu disembunyikan di sudut kesendiriannya karena tak ingin dia terlihat lemah. Di depan anak-anak selalu bilang Boys Dont Cry, tapi kita tak pernah tahu kalo ternyata Cry like a River.

Jujur saja lidah jadi kelu saat anak-anak protes dimana ayahnya saat mereka butuh saya hadir di samping. Ini takdir seorang lelaki yang dipaksa nasib menjadi pemimpin keluarga. Tak perlulah saya berkilah, "Ayah harus kerja hidupi kalian Nak..." atau berkelit, "Ayah sibuk dan gak sempat Nak...". Belajarlah dari Bapak, dia cukup beri pelukan dan lirih bisikkan, "Maafkan Bapak ya Nak...". Meski kata maaf itu tak pernah terdengar di telinga anaknya.

Mungkin benar adanya kata maaf itu tak perlu diucapkan Bapak. Justru saya lah yang harus ucapkan terima kasih karena sudah diajarkan bagaimana menjadi seorang ayah jauh sebelum saya saat ini mengalaminya sendiri.

#75/40 R19