"Ayah, kenapa sih pulangnya malam terus?"
Saat kecil dulu sebetulnya pertanyaan terpendam saya jauh lebih banyak dibanding anak saya.
"Kenapa Bapak jarang di rumah?"
"Kenapa Bapak berangkat pagi betul dan pulang terlalu larut?"
"Kenapa Bapak jarang ajak jalan-jalan?"
"Kenapa Bapak hampir gak pernah belikan mainan?"
"Kenapa Bapak nyaris tak pernah antar anaknya ke sekolah?"
"Kenapa Bapak dinas luar kota lama?"
Hampir-hampir saat kecil dulu saya seperti tak kenal Bapak. Semua hal yang saya dan kakak-adik lakukan hanya ada Ibu di samping. Bapak ajak jalan hanya sekali-kali yang bisa dihitung dengan jari dalam hitungan tahun. Entah butuh berapa tahun saya baru bisa pahami Bapak.
Dan saya akhirnya baru benar-benar merasakan pemahaman ini saat menjadi sosok ayah seperti di posisi Bapak waktu itu.
Bapak memang jarang hadir buat anaknya, tapi hasil kerja kerasnya mampu biaya sekolah anaknya.
Bapak seperti tak punya waktu untuk ajari PR anaknya, tapi tetap sempatkan ingatkan waktu sholat.
Bapak memang tak punya waktu makan malam bersama, tapi do'anya tak pernah putus harap untuk bisa bersama keluarga selamanya.
Bapak yang habis waktunya untuk bekerja, tapi tak pernah kehabisan uang untuk cukup nafkahi keluarga dan bantu sanak saudara.
Sejatinya apa yang sekarang saya alami menjadi ayah adalah cerminan apa yang dialami Bapak dulu. Bila Bapak saat ini masih ada, pastinya dia akan tersenyum simpul sembari berkata, "Sekarang giliran kamu rasakan apa yang Bapak dulu rasa Nak..., Bersabarlah..."
Saat ini pasti Bapak bisa bangga untuk bilang saya sudah jadi laki-laki seutuhnya persis yang Bapak mau. Dulu dia lakukan ini semua pada anak lelakinya supaya tangguh dan kuat. Bapak tunjukkan tak peduli setangguh atau sekuat apapun, lelaki itu tak kan pernah sempurna di mata keluarga dan harus selipkan setulus kata maaf untuk cela perbuatannya. Tak pernah terbersit ingin dipuja karena Bapak sadar tak akan pernah sempurna.
Saya jadi paham kenapa dulu Bapak jarang sekali peluk saya. Bapak ingin saya tangguh di hadapannya dan hanya menangis di pelukan Ibu. Hal yang sama saat ini saya lakukan ke anak lelaki saya meski sesungguhnya saya ingin peluk dia.
Saya jadi paham kenapa Bapak jarang bicara ke anaknya karena ingin tunjukkan lelaki itu tak boleh keluh kesah, tapi jadi tempat luapkan keluhan. Hal yang persis saya tampakkan ke anak-anak.
Pantas saja Bapak tak pernah terlihat menangis dan air matanya selalu disembunyikan di sudut kesendiriannya karena tak ingin dia terlihat lemah. Di depan anak-anak selalu bilang Boys Dont Cry, tapi kita tak pernah tahu kalo ternyata Cry like a River.
Jujur saja lidah jadi kelu saat anak-anak protes dimana ayahnya saat mereka butuh saya hadir di samping. Ini takdir seorang lelaki yang dipaksa nasib menjadi pemimpin keluarga. Tak perlulah saya berkilah, "Ayah harus kerja hidupi kalian Nak..." atau berkelit, "Ayah sibuk dan gak sempat Nak...". Belajarlah dari Bapak, dia cukup beri pelukan dan lirih bisikkan, "Maafkan Bapak ya Nak...". Meski kata maaf itu tak pernah terdengar di telinga anaknya.
Mungkin benar adanya kata maaf itu tak perlu diucapkan Bapak. Justru saya lah yang harus ucapkan terima kasih karena sudah diajarkan bagaimana menjadi seorang ayah jauh sebelum saya saat ini mengalaminya sendiri.
#75/40 R19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar